SATU.
Satu sisi
Malam ini hujan turun dan langit begitu suram. Suhu dingin menusuk kulitku dan menerobos sampai ketulang – tulang ulu hatiku. Atau mungkin itu bukan disebabkan oleh rasa dingin hujan, tetapi rasa sakit yang menusuk itu berasal dari hatiku sendiri. Mungkin juga disebabkan percakapan 20 menit yang lalu dari telepon genggamku. Saat pria itu dan aku membuat keputusan untuk kembali menjadi teman saja. Aku tidak sakit hati dan tidak menyesalinya, aku bahkan tersenyum dan menerima keputusan itu jika itu memang yang terbaik. Tetapi... aku merasakan sebuah tempat dihatiku ditinggal pergi dan kini tempat itu kosong dan sepi.
Aku tidak ingin menyesali keputusan yang sudah kubuat sendiri, aku berdiri dari kursi malasku dan beranjak ketempat tidur. Perlahan aku pasangkan headseat ketelingaku dan mencolokkan kabelnya ketelepon genggamku. Mendengarkan beberapa lagu mungkin akan mengantarkanku tidur.
Saat lantunan syair – syair lagu itu mengalun lembut, aku menutup mataku dan menghembuskan nafasku. Ruang – ruang dihatiku terasa semakin sepi. Aku tenggelam dalam imajinasiku sendiri. Seolah melihat ruang yang ada didalam hatiku, aku berdiri disebuah hall besar dengan langit – langit berwarna merah yang luas. Tidak ada satupun perabotan yang menghiasi ruangan itu, jendela – jendela dan semua pintu tertutup. Ruangan itu sekarang terasa semakin luas dan terus semakin sepi. Kesepiannya perlahan menyesakkanku, kesepiannya membunuhku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar