Looking for something ?

Lelaki Penghujung Senja

Lelaki Penghujung Senja
Oleh : Vitrie Kusuma Ayu


Aku Natasha, tulisan ini tentang seorang lelaki dipenghujung senja. Ia yang biasa bersamaku kala itu berterimakasih dan memilih pergi saat mentari bersinar jingga. Ia yang biasa bersamaku masih ada namun tak lagi kulihat. Tak lagi menginginkanku untuk sebuah alasan yang tak pernah ia ungkapkan.

Jika ia tak pernah lagi menyapa, maka kamu, jadilah aku. Agar kita sama. Dan apa yang kau baca, bisa kau mengerti apa yang kurasa.

Minggu, 6 Oktober 2013.

Sudah lama aku tak menulis kisah tentangmu dalam berbagai perangkat digital. 2 bulan lamanya aku hanya memendamnya hingga aku lupa. Terkadang, entah punya alasan apa aku menuliskannya dalam lembaran kertas kuning. Lembaran itu kususun menjadi sebuah buku berjumlah 23 lembar. Untuk ulang tahunmu yang ke 23 tahun, April nanti.

Jika nanti kisah ini bisa dibaca banyak insan, aku akan sangat senang dan akan kusematkan dalam buku yang berisi lembaran kuning itu. Benar ini tentang mu dan kutujukan padamu. Memang ini bukan surat, tapi ini adalah sebuah kisah tentang perasaan-perasaan yang tak tersampaikan selama kau memutuskan untuk berhenti menginginkan keberadaanku. Sayang sekali, kisah ini mungkin sedih.

 Setiap hari, setiap kali kusimpuhkan lututku ini untuk mengadu sendu pada Tuhanku tentang ayah, ibu dan kedua adikku. Agar mereka selalu dilindungi dan disayangi oleh-Nya, dicintai dengan sebesar-besar kuasa milik-Nya. Karena aku jauh dan lemah tak mampu berkehendak apapun. Bertemu merekapun hanya bisa dalam mimpi untuk mengobati setiap haru setiap kali teringat syukur saat bersama mereka.

Setelah selesai pembahasan keluargaku, kepada Tuhan aku mulai membahas namamu. Sembari mengingat semua perlakuan baikmu, semua yang aku lakukan untuk kebaikanmu namun salah dimatamu, semua… semua yang berat kulepaskan.

“Yang maha pengasih,   yang mengajarkan kasih dan menumbuhkannya dalam hati setiap insan. Yang maha penyayang, yang menyayangiku hingga aku tumbuh sampai saat ini. Yang maha melihat, lihatlah betapa rapuhnya diri ini. Yang maha mendengar… mohon dengarkanlah gundahku…

Tuhanku, Lindungi Fajar dimanapun ia berada. Jagalah kesehatannya, beri ia kekuatan dalam menghadapi kesulitan dalam urusannya. Temani ia dikala ia merasa sepi, miliki hatinya agar tetap selalu dijalan-Mu. Cintai ia karena aku tak lagi mampu mewujudkannya, Sayangi ia karena aku tak lagi mampu memberinya perhatian langsung. Jadikan hatinya terus berada dalam ketetapan iman. Jadikan ia lelaki yang lebih baik dan terus berada dijalan orang-orang yang engkau ridhai…

Tuhan, Ajarkan aku untuk meingkhlaskan Fajar. Taklukkan rasa ini dalam setiap sujudku padamu. Amiin”

Terkadang, doaku lebih panjang dari ini. Entah apa yang kulakukan. Sia-sia kah? Tetapi aku selalu berkata pada diriku. Bukankah mendoakan orang yang baik-baik itu bukanlah perbuatan yang salah?. Haha, benar. Itu hanya pembelaan diri sendiri semata. Sedihnya menyayat hati.

Senin, 7 Oktober 2013

Hari ini aku harus bertemu dosen pembimbingku. Sibuk sekali pagi ini. Mulai dari piket harian di kost. Belanja, cuci baju sekaligus menjemur, dan memasak. Penyakit asam lambung yang sangat akrab sekali denganku memang memaksaku untuk selalu makan masakan sendiri atau masakan “rumahan” paling tidak. Tidak bisa terlalu manis, tidak pedas, tidak pula menggunakan vitsin atau micin, dan tidak terlalu banyak rempah. Aku harus menjadi koki yang baik untuk kesehatanku sendiri. Ajaibnya, masakanku tergolong enak rasanya. Alhamdulillah.

Lagi, aku teringat lelaki yang biasa kukabarkan saat masakanku telah siap saji. Ia yang biasa makan bersamaku, memuji rasa masakanku, mengandai-andaikan jika nanti ada dua anak kecil yang ikut-ikutan memuji masakanku. Ah, keterlaluan si Fajar itu. Belum-belum sudah hal seperti itu yang ia bicarakan. Toh nyatanya ia juga bahkan tak lagi disini.

“Nat, kamu bimbingan sama bu Anita bukan? Kapan mau seminar judul proposal kerja praktik?” Tanya Aifa membuyarkan lamunanku sambil membuka pintu kamar kostku.

“Iya, hari ini. Kenapa? Sarapan fa… ”jawabku sambil menuangkan nasi dan lauk dipiring.

“Iya, makasih. Hari ini? Jam berapa? Bareng ya, aku juga bimbingan sama bu Anita. Sms dulu deh coba, bu Anita bisanya jam berapa hari ini…” Aifa duduk merosot didepan pintu.

Aku meraih ponselku dan mulai mengetik. Tak sampai 2 menit, aku sudah menerima balasan sms dari dosen pembimbingku.

“… Wah, fa. Ga jadi seminar judul nih. Sayang sekali, Bu Anita lagi sakit. Juga belum bisa ngabarin kapan beliau bisanya. ” ujarku.

Aifa berdehem “Hm, begitu ya. Okelah, pokoknya kalau kamu mau datengin bu Anita kabarin ya. Oh iya, Mas Fajar lagi Tugas Akhir kan? Dia juga bimbingan sama bu Anita loh ! Aku pergi dulu ya, Assalamualaikum… ”

Serasa mengunyah pasir, ada jarum ditenggorokanku. “Walaikumsalam…”

Aku mungkin masih berharap melihatnya, mengetahui kabarnya. Tapi apa Fajar juga seperti itu? Mungkin melihatku lagi adalah hal yang mengganggunya. Maaf…

Selasa, 08 Oktober 2013

Masih belum ada kabar dari bu Anita. Hari ini status seorang Natasha absolut pengangguran. Sedari pagi hingga menjelang sore benar-benar ga ada kerjaan. Seharian tidur-tiduran, nonton tv dan browsing di internet.

Drrrtt…
Ponselku bergetar.

“Nath, lagi dimana ?” ialah Arga yang selalu gak jelas menanyakan kabar hanya buat teman sms-an agar paling tidak ponselnya berguna untuk menerima sms.

“Kost, kenapa?” balasku singkat.

“Ayo jalan, ngopi”

“Aku udah ndak bisa ngopi, takut maag kambuh…” ah, mulai menyebalkan.

“nge teh aja kalo gitu”

“sama aja, tau” ah enyahlah Arga. Aku melemparkan ponselku ke..entah kemana.

Sore begini, biasanya aku dan Fajar akan mendiskusikan, menghabiskan senja dimana. Ah, lelaki itu lagi-lagi berputar-putar dikepalaku. Tuhan, takklukkan hati ini, beri aku kekuatan untuk mengikhlaskannya…

Rabu, 09 Oktober 2013

Hari rabu adalah jadwal pengajian ke masjid kampus. Setelah berdandan rapi aku beranjak ke kampus tepat jam 09.00 pagi. Aku memilih berjalan kaki meski aku memiliki sebuah sepeda lipat hitam yang macho. Haha.

Syukurlah hari ini perasaanku begitu ringan. Tidak ada yang ku khawatirkan. Bu Anita juga sudah memberi kabar jadwal kapan beliau bisa ditemui. Semoga hari ini menyenangkan…

Sebelum memasuki area masjid kampus, aku menyempatkan diri untuk melihat papan pengumuman. Mungkin baik juga buatku untuk mencari kerja part time berhubung jadwal kuliahku yang hanya sekali seminggu. Maklum, mahasiswa tingkat akhir. Haha…

Benar saja, dipapan pengumuman jadwal para dosen pembimbing kerja praktik dan tugas akhir mahasiswa sudah ditempel. Syukurlah, ini mungkin menjawab kegundahan mahasiswa-mahasiswa yang terus penasaran akan nasib toganya. Ceileh.

Wah, membayangkan toga serasa ada angin segar yang merasuk kedalam paru-paru ku. Aku harus semangat setelah beberapa hari ini serasa hilang asa.

Saat menatap santai kertas-kertas yang ditempel dipapan pengumuman. Mataku tertuju pada sebuah kertas. Kubaca pelan…

“Jadwal Seminar Hasil Kerja Praktik…
….
Kamis, 10 Oktober 2013
Fajar Rahmani Arya
…”

Fajar? Wah, jadi sudah bakal seminar hasil KP ya? Berarti beban kuliahmu tinggal Tugas Akhir ya? Selamat ya Fajar…

Pukk !!

“Natasha !!”
  
“Nabil ! Kamu, bikin kaget saja…” ujarku sambil mengelus pundakku yang ditepuk Nabila, teman seangkatanku yang super. Super karena lebih cepat selangkah dariku. Angkatanku saat ini benar sedang masa Kerja Praktik, tapi Nabil? Sudah melesat berkutat dengan Tugas Akhir dan siap meraih toga di April nanti. Bahagianya.

“Haha, kamu lagi ngapain disini? Ayuk ke masjid… ” Nabil menarik tanganku. Nabil juga ikut pengajian dimasjid.

Eh tunggu, kalau Nabil sudah Tugas Akhir, berarti bulan ini adalah minggu Nabil seminar hasil Kerja Praktiknya semester lalu.

“Nabil ! kamu bakal seminar hasil KP kan? Kapan? Cieee” tanyaku seraya menggoda Nabil.

“Insya Allah hari kamis ! Kudu datang ya !” ujarnya sambil melengos pergi.

Kamis? Fajar?
Kakiku dingin membeku.

Kamis, 10 Oktober 2013

Pagi ini aku bangun tidur dengan kepala terhuyung. Seharusnya sehabis shubuh tadi aku tidak tidur lagi, tapi kantuk yang kurasa karena tidur larut malam memang tak tertahankan. Alasan tidur larut malam? Tidak usah ditanya, aku tidak tenang memikirkan hari esok bagaimana bertemu Fajar. Esok? Oh, esok adalah hari ini.

Aku duduk kalem menghadapi sarapanku. Mencoba tetap tenang, aku menyalakan mp3 dari laptopku. Seperti biasa, tembang Sheila on 7 ini punya lagu khusus untuk setiap momen. Pastiku Bisa – Sheila on 7 mulai terdengar…

“Lihat apa yang terjadi
Dengan semua rencanaku
Hancur semua berantakan
Dia berjalan keluar dari lingkaran hidupku
Bebas kulepaskan dia
Akupun mulai berdendang

Pasti ku bisa melanjutkannya
Pasti ku bisa menerima dan melanjutkannya
Ooh pasti ku bisa menyembuhkannya
Cepat bangkit dan berfikir
Semua tak berakhir disini”

***

Bismillah…
Aku memasuki ruangan seminar hasil Kerja Praktik. Beberapa kursi barisan depan sudah terisi. Aku duduk dibarisan ke-3. Saat Nabil memanggil namaku dan melambaikan tangannya, aku tersenyum dan…

Tuhan, aku melihatnya…

Fajar berpakaian rapi, Syukurlah…
Rambutnya sudah dipangkas.
Ia mengenakan sepatu hitam yang pernah ia bilang ingin membelinya untuk seminar hasil KP nya nanti.
Ia tampak gugup, tapi aku percaya dia siap.
Ia yang akan seminar giliran pertama.
Good luck, Fajar…

Tuhan, mudahkanlah dia…

Fajar tersenyum, kepada semua yang hadir menonton, kepadaku

***

Aku duduk lemas menghela nafas lega dan berkali-kali mengucap syukur. Dua orang ini—Fajar dan Nabil— benar-benar telah menguras energiku. Selama menyaksikan mereka, aku tertular rasa gugup. Selain karena mereka adalah orang yang kukenal, dan ingin mereka mendapatkan nilai hasil seminar yang sempurna, aku juga membayangkan diriku nanti yang akan berdiri didepan sana mempresentasikan hasil Kerja Praktikku nanti.

Semua hadirin sudah beranjak keluar dari ruangan. Aku menghampiri Nabil dan beberapa temanku yang turut hadir mengucapkan selamat kepada Nabil. Tinggal selangkah lagi ia akan meraih toga, sebuah Tugas Akhir.

“Ah Nabil, Selamat ! Aku iri !” batinku sambil memeluk Nabil lalu memberinya selamat. Setelah itu Nabil dikeroyok teman-temannya untuk acara syukuran.

Aku menoleh kedalam ruangan, Fajar belum keluar ruangan dan masih berbicara kepada Dosen pembimbingnya sambil tersenyum. Tanpa kusangka, lelaki itu menatap keluar ruangan, ia melihatku… dan tersenyum.

Jantungku mencelos.

Fajar menggendong tasnya dan berjalan keluar ruangan. Aku tak mungkin langsung pergi, kan?

Relaks, ambil nafas…

“Fajar, selamat ya… ” ucapku sambil tersenyum. Aku tak tahu saat ini aku sedang merasakan apa. Ini bukan lebay. Oh seandainya ada yang mengerti perasaan seperti ini…

“Iya, Nath. Makasih ya udah datang.  Buruan nyusul ya!” Ujarnya balas tersenyum dengan matanya yang .. masih teduh, seperti dulu.Fajar tersenyum bahagia.

Fajar, selamat ya… semoga TA kamu juga sukses…

“Haha, iyah” balasku lagi, masih sambil tersenyum.

“Duluan ya? Daaah..” Fajar melewatiku sambil melambai. Wajahnya menguning semburat cahaya mentari senja.

Daah, Fajar…
Sampai ketemu lagi, dilain kesempatan…

Sesingkat itu, sebuah percakapan dengannya.
Seperti itu senyum yang selalu kunanti, yang dulu selalu kulihat.
Seperti tadi sinar matanya saat menatapku, dulu…
Seperti itu suaranya ramah selalu menyapaku.

Terimakasih, Fajar…
Saat-saat seperti inilah yang selalu kupertanyakan…
Kapan lagi kurasakan semua itu olehmu..

Terimakasih, Fajar…
Terimakasih, Tuhan atas kesempatan yang Kau beri.

Duh senja,
aku menangis lagi

“….
Kau tetap yang terhebat…
Melihatmu, mendengarmu…
Kaulah yang terhebat…”
(Sheila on 7 – Yang Terlewatkan)


*Selesai*











6 komentar:

  1. renyah,sedap...aku menikmati alurnya.Halus

    BalasHapus
  2. perasaan yang terabaikan.. itulah yang kurasakan.. sebuah alasan yang tak bisa diungkapkan..
    membaca ini, berasa kembali ke masa lalu.. mengingatkanku pada sebuah memori yang ingin kulupakan.. :)

    BalasHapus
  3. ceritanya menarikkk, sukses terus!

    salam
    laundrysepatumedan

    BalasHapus



Whatever you do, or DREAM you can, BEGIN it, Boldness has genius, power, and magic in it.